Terlalu Mammut atau Kuda Nil dibanding si Kancil Alat-Alat Elektronik
Sepenggal esai menarik perhatian saya ketika menamatkan halaman demi halaman Inilah Esai-nya Muhidin M. Dahlan. Adalah penggalan awal esai Y.B. Mangunwijaya atau yang kerap disapa Romo Mangun berjudul “Peran Buku Demi Kearifan dalam IPTEK” yang teradapat dalam Buku dalam Indonesia Baru, 1999 halaman 69–70.
-
Bila kita menyinggung IPTEK, maka kita menghadapi suatu fenomena mengagumkan yang serba amat cepat berubah dan berkembang. Apalagi dengan maraknya sektor teknologi dan industri perangkat lunak yang penuh inovasi dan kejutan-kejutan baru. Sehingga kita dapat bertanya diri, apa mungkin benda buku dapat mengikuti lomba kemajuan yang begitu cepat? Buku, (yang sudah berusia 600 tahun sejak Johann Gutenberg menemukan teknik cetak buku, dan lebih kuno lagi bila kita ingat pada seni cetak di kertas oleh bangsa Cina), pada dasarnya benda mati, terbuat dari papirus atau bahan serat aneka jenis; yang dicetaki tanda-tanda, huruf-huruf atau gambar-gambar dengan tinta; dan yang bila tidak sedang dibaca, tersimpan dalam rak almari atau tergeletak di meja.
Benda buku inersinya alot sekali bila dibanding dengan dinamika kelincahan huruf-huruf, tanda-tanda atau gambar pada layar elektronik; dengan disket-disket atau piringan C yang amat tipis dan ringan. Buku, bila sudah menjadi perpustakaan, ternyata sarana baca yang lebih berat dan lebih tidak praktis daripada komputer-komputer generasi awal yang raksasa dan mengambil tempat terlalu banyak bagi orang modern.
Terlalu mammut atau kuda nil dibanding si kancil alat-alat elektronik.
Dan kapasitasnya pun terlalu terbatas. Apakah buku sebagai sarana informatif masih punya harapan bersaing dengan perangkat-perangkat lunak dan keras dari dunia chips dan silikon? Apalagi menyangkut ilmu-ilmu pengetahuan dan teknologi yang juga sama dinamikanya, cepat dan menginovasi diri tiada henti?
(Y.B. Mangunwijaya, “Peran Buku Demi Kearifan dalam IPTEK” dalam Buku dalam Indonesia Baru, 1999, hlm. 69–70 dalam Inilah Esai, 2019, hlm. 148–149)