Perjuangan yang Dilupakan

Rezal Prihatin
3 min readApr 16, 2024

--

Perjuangan yang Dilupakan — Rizki Lesus

Inti dari buku ini saya temukan bukan pada judulnya, melainkan pada halaman penutup dari bab epilog buku ini.

Buku ini penting, sepenting buku-buku sejarah islam atau sejarah indonesia lainnya. Terbit dengan judul Perjuangan yang Dilupakan, Rizki Lesus berusaha menceritakan kisah yang tak banyak diingat oleh generasi sekarang. Setidaknya, ada 3 poin yang disinggung. Perjuangan jihad santri dan ulama dalam barisan yang rapi sebelum kemerdekaan, hilangnya “tujuh kata” saat penetapan UUD 18 Agustus 1945 beserta pengkhianatannya dalam sidang konstituante 1955 dan terakhir besarnya dukungan umat islam internasional atas kemerdekaan Indonesia.

Pada poin pertama, penulis berusaha menceritakan begitu dekatnya kita dengan kata “jihad” di zaman perjuangan sebelum kemerdekaan. Berbeda dengan sekarang, dimana kata “jihad” semakin terasa asing bahkan ada pihak yang berusaha mengarahkan kata itu kepada makna yang cenderung negatif. Penulis juga memperlihatkan, begitu kompaknya kaum muslimin ketika itu. Tidak terpecah atas golongan masing-masing.

Poin kedua mengkerucut pada sikap politik umat islam. Ini sekaligus menjadi counter atas banyak pikiran, bahwa agama harus dipisahkan sejauh mungkin dari politik. Piagam Jakarta atau Jakarta Charter yang sudah melalui persidangan panjang dan melibatkan elemen dari berbagai golongan juga agama telah menyepakati naskah yang kelak akan dijadikan pembuka pada undang-undand dasar Indonesia. Diantara poinnya adalah adanya kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Namun pada rapat penepatan UUD pada 18 Agustus 1945, kalimat itu berubah menjadi “Ketuhanan yang Maha Esa”.

Berbagai intrik berusaha diceritakan oleh Penulis dari adanya ancaman daerah yang berpisah jika tetap dalam kalimat yang awal, hingga janji untuk disepakati ulang pada sidang konstituante yang tidak pernah diwujudkan. Bahkan sidang konstituante dibubarkan pada 5 Juli 1959. Penulis menekankan adanya penghianatan oleh Bung Karno terhadap umat islam yang diwakili oleh tokoh islam ketika itu.

Poin terakhir diceritakan bagaimana Mesir dan liga arab begitu mendukung kemerdekaan Indonesia. Saudara muslim yang terletak jauh di belahan bumi bagian timur. Konsul Jendral Mesir di Bombay, Abdul Mun’im harus masuk lewat “pintu belakang” Indonesia untuk mengantarkan surat dukungan Mesir dan liga arab terhadap kemerdekaan Indonesia pada 1947. Hingga kemudian dilanjutkan dengan dikirimkannya utusan Indonesia untuk pertemuan delegasi RI dengan negara-negara arab.

Mayoritas isi buku ini berusaha menegaskan bahwa, umat islam memiliki andil yang sangat penting dalam kemerdekaan Indonesia, maka sudah selayaknya juga memiliki hak-hak umat yang harus terpenuhi. Tentu saja, bagi sebagian orang, ini adalah buku yang ditulis dengan pandangan yang sangat sempit. Namun, memang beginilah adanya. Penulis berusaha menuliskan dengan tegas posisi umat islam dalam gemuruh kemerdekaan Indonesia.

Buku ini penting, tentu saja. Namun sayang sekali, saya seringkali kesusahan dan tidak nyaman membacanya. Dikarenakan beberapa kalimat yang menurut saya tidak tepat dan sudut pandang yang sering berubah-ubah. Saya jadi terpikir, betapa pentingnya kemampuan menulis dengan baik sehingga menarik untuk dibaca. Gaya menulis ala Tere-Liye dan digabungkan dengan topik sepenting ini tentu akan menjadi buku yang luar biasa menarik.

Di akhir tulisan, akan saya kutipkan kalimat yang sudah saya singgung di kalimat pembuka tulisan ini,

“Yang harus dijaga, jangan sampai umat islam tidak memperolah hak-hak mereka secara politis. Jika perang sudah usai, maka fase perjuangan hidup mati sudah dilewati, tentu oranng-orang mulai mengisi kemerdekaannya dengan usaha membangun bangsa dan negara. Moga-moga saja saham umat islam di masa paling sulit itu tidak dilupakan. Biasanya manusia itu meudah melupakan kawan dan membuang arti sifat solidaritas apabila kepentingan politis, ekonomi, maupun kepentingan golongan mulai menonjol -kullu hizbin bimaa tadaihim farihuun- tiap golongan selalu mengutamakan golongannya sendiri daripada kepentingan golongan lain.” (K.H. Abdul Wahid Hasyim)

Rezal Prihatin

Sragen, 17 April 2024 pukul 00.51

--

--

No responses yet