“Kami Hanya Berprasangka Baik Kepada Allah”
Saya menemukan kisah yang menarik untuk kita telusuri hikmahnya. Kisah ini terjadi di akhir masa dinasti Abbasiyah.
— — -
“Tuan, apakah dengan membayar harga senilai dengan berapa engkau membeliku dulu, aku akan bebas?”. Ujar seorang budak laki-laki kepada majikannya.
“Hmm… Ya. Bisa”
Sebelumnya, pada setiap libur Jum’at yang budak itu dapatkan dari majikannya, budak itu gunakan untuk bekerja. Mengumpulkan dirham demi dirham dan satu hari dia akan minta izin untuk menebus dirinya pada sang majikan.
“Baik, ini dia,” kata budak itu sambil meletakkan bungkusan uang di hadapan tuannya. “Allah swt. telah membeliku dari Anda, lalu Dia membebaskankanku. Alhamdulillah”
“Maka engkau merdeka karena Allah,” ujar sang majikan takjub. Lantas majikan itu memeluk sang budak. Sang majikan mengembalikan separuh dari uang yang diterimanya dari sang budak. “Gunakanlakn uang ini untuk memulai kehidupan barumu sebagai orang yang merdeka. Aku berbahagia menjadi sebagian tangan Allah yag membebaskanmu”
Sang budak yang kini telah merdeka itu merasa bersyukur. Namun, pada saat yang sama dia juga disergap khawatir. Kepada majikannya ia pamit, “Aku tidak tahu wahai tuanku, apakah kebebasan ini rahmat ataukah musibah. Aku hanya berbaik sangka kepada Allah.”
Ini adalah sebuah kisah kecil dalam megahnya dinasti Abbasiyah. Tentang perjalanan hidup seorang bapak dan anak. Serta bagaimana mereka menyikapinya.
Pria mantan budak itu lantas menikah dan memiliki anak. Namun, setelah menunaikan tugas menyusui sang putra, istrinya meninggal dunia. Maka dibesarkanlah puteranya itu dengan penuh kasih. Dididiknya anak lelaki itu untuk memahami agama dan menjalankan sunnah Nabi, juga bersikap kesatria dan berjiwa merdeka.
“Anakku,” katanya suatu pagi, “Ayahmu ini dahulunya adalah seorang budak. Tapi selalu kujaga kehormatan dan kesucianku, maka Allah memuliakanku membebaskanku. Dan jadilah kita orang merdeka. Ketahuilah nak, orang bebas yang paling merdeka adalah dia yang bisa memilih caranya untuk mati dan menghadap ilahi”.
“Ketahuilah” lanjutnya “Seorang yang syahid di jalan Allah pada hakiaktnya tidak pernah mati. Saat terbunuh dia akan disambut oleh tujuh puluh bidadari. Rasanya menanti kiamat dengan terbang kesana-kemari dalam tubuh burung hijau di taman surga dan diizinkan baginya memberi syafa’at bagi keluarganya. Mari rebut kehormatan itu nak, dengan berjihad lalu syahid di jalan-Nya!”
Sang anak mengangguk.
Sang ayah kemudian mengeluarkan sekantung dinar, yang merupakan seluruh tabungan mereka. Lalu berkata kepada sang anak, “Mari kita beli kuda yang paling bagus untuk dipersembahkan dalam jihad di jalan-Nya”.
Siangnya mereka pulang membawa kuda yang gagah mengagumkan. Semua tetangga datang untuk mengaguminya. “Kuda yang hebat, belum pernah kami melihat kuda seindah ini. Berapa uang yang kalian habiskan untuk kuda seperti ini?”
Sang ayah kemudian mengatakan bahwa itu adalah seluruh tabungan mereka.
Para tetangga yang tadi memuji, kemudian berubah mencela, “Masih waras kah kalian?, uang sebanyak itu digunakan untuk membeli kuda. Padahal rumah kalian sudah hampri rubuh, tolol!”
“Kami tidak tahu, ini rahmat atau musibah. Tapi kami berbaik sangka kepada Allah,” ujar sang ayah dan anak.
Para tetangga pun pulang. Mereka berdua, kemudian merawat kuda itu dengan sangat baik. Makanan kuda djamin kelengkapannya, rumput segar, jerami kering, biji-bijian, dedak dan sebagainya. Si kuda dilatih keras, tapi tak dibiarkan lelah tanpa hadiah.
Hingga pada suatu pagi, ketika sang ayah menengok ke kandang, kuda yang mereka beli dan rawat selama ini tidak ada di kandang. Kandang kosong tanpa ada papun. Kuda itu hilang!
Berduyun-duyun para tetangga datang mengucap bela sungkawa. “Sayang sekali. Padahal itu kuda paling indah yang pernah kami lihat. Kalian memang tidak beruntung.”
Sang ayah hanya tersenyum sambil mengelus kepala anaknya. “Kami tidak tahu apakah ini rahmat atau musibah. Kami hanya berbaik sangka kepada Allah.”
Mereka pasrah. Sang ayah coba menghitung-hitung uang untuk membeli kuda lagi. “Nak, dengan atau tanpa kuda, ketika panggilan Allah datang, kita harus menyambutnya.” Kata sang ayah mantap.
Tiga hari kemudian, di waktu subuh terdengar suara ringkik kuda dari kandang. Kemudian sang ayah memeriksa ke kandang. Dan benar saja, kuda mereka yang gagah ada disana. Tapi kuda itu tidak sendiri. Ada belasan kuda lain bersamanya. Kuda-kuda liar. Mungkinkah kuda ini merasa diperlakukan dengan baik, sehingga mengajak teman-temannya untuk ke kandang milik sang ayah dan anak tadi.
Beranjak siang, kemudian para tetangga datang. “Luar biasa, kuda itu pergi untuk memanggil kawanannya.” Mereka mengucapkan selamat kepada pemiliknya. “Wah sekarang kalian menjadi orang paling kaya di kampung ini.”
Lagi-lagi ayah anak ini masih menjawab dengan kalimat yang sama. “Kami tidak tahu, apakah ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.”
Hari berikutnya, dengan bahagia sang anak mencoba menaiki seekor kuda. Kemudian ketika dipacu, kuda itu terkejut ketika berpapasan dengan seekor lembu di jalan. Sang anak jatuh dan kakinya cidera.
Para tetangga menjenguk dan mengucapkan, “Kami turut prihatin. Ternyata kuda-kuda itu tidak membawa berkah. Mereka datang membawa musibah. Alangkah beruntungnya yan tidak memiliki kuda itu, anaknya sehat sentausa.”
Sang ayah tersenyum lagi. “kami tidak tahu apakah ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.”
Hingga berselang hari kemudian, ada seruan dari raja bahwa semua pemuda yang sehat jasmani rohani wajib ikut bergabung perang. Namun sayang sekali, ini sulit dikatakan jihad, karena musuh yang hendak dihadapi adalah sesama muslim.
“Nak, semoga Allah menjaga kita dari menumpahkan darah sesama muslim. Allah Maha Tahu, kita ingin jihad di jalan-Nya. Kita sama sekali tidak ingin beradu senjata dengan orang-orang beriman.”
Petugas dari kerajaan datang dan tidak membawa turut serta sang anak, karena sedang mengalami cidera. Juda tidak membawa sang bapak karena terlampau tua. Sehingga mereka terbebas dari menumpahkan darah dengan sesama muslim.
Para tetangga ditinggal oleh anak dan suami mereka. “Kami kehilangan anak dan suami kami, tanpa tahu apakah mereka kembalia tau tidak. Sementara putramu tetap bisa di rumah. Kalian beruntung!”
Sang ayah dan anak ikut bersedih. Namun kali ini, para tetangga tampak tersenyum, dan ucapan mereka bergema, “Kami tidak tahu, ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangkan baik kepada Allah.”
Sebulan kemudian, kampung itu dipenuhi ratapan para ibu dan isak tangis istri. Kabarnya telah jelas, semua pemuda yang berangkat tewas di medan tempur. Seluruh kampung kini menggumamkan kalimat indah itu. “Kami tidak tahu ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah.”
Singkat kisah, panggilan jihad yang sebenarnya datang. Pasukan Mongol yang dipimpin Hulagu Khan menyerbu wilayah Islam. Membumihanguskan rata dengan tanah. Ayah dan anak itu pun menyongsong janjinya. Mereka bergegas dengan kalimat agung itu, “Kami tidak tahu apakah ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprangka baik kepada Allah.”
— — -
Kisah yang mengajarkan kepada kita bagaimana cara menerima ketetapan dari Allah. Takdir yang tampak baik atau yang terlihat buruk. Dengan terus berprasangka baik kepada Allah. Sang ayah dan anak mengajarkan kalimat agung itu, “Kami tidak tahu apakah ini rahmat atau musibah. Kami hanya berprasangka baik kepada Allah”
Sumber: Salim A. Fillah, “Dalam Dekapan Ukhuwah”, Yogyakarta: Pro-U Media
Ditulis ulang oleh: Rezal Prihatin