Fiksi
“Gus, baik benar peruntunganmu, dapatkan istri secantik itu. Di jaman leluhurmu, perempuan seindah itu bisa terbitkan perang Bharatayuddha.”
“Apa Bunda kira sahaya tidak berperang untuk bisa mendapatkannya?”
“Ya-ya-ya, kau benar, Gus dan memang dengan kemenangan gemilang.”
(Bumi Manusia — Pramodya Ananta Toer, hal. 451)
Ketika membaca penggalan ini, saya sedang duduk di atas kursi plastik di bawah temaram lampu teras gedung kantor kecamatan. Menemani kakak yang sedang melakukan rekap data paska pelaksanaan pemilu 14 Februari 2024. Di antara hiruk-pikuk diskusi berinstrumen berkas data kala itu, kepala saya sibuk mengikuti cerita Minke saat pertama kali bertemu dengan Annelis Mellema beserta ibunya, Nyai Ontosoroh, yang merupakan seorang gundik bernama asli Sanikem.
Saya tidak banyak mengingat cerita Minke dalam Bumi Manusia yang ditulis Pram pada tahun 1975 itu. Kecuali bagian-bagian yang memang saya simpan sebagai catatan, karena saya rasa menarik. Beberapa diantaranya saya unggah di akun instagram pribadi, agar mudah diakses. Termasuk dialog antara Minke dengan sang ibu menjelang hari pernikahannya, sebagaimana saya kutipkan di atas.
Bagi saya yang laki-laki, terlebih juga belum menikah, dialog Minke dengan ibunya itu saya rasa mengagumkan. Teramat gagah saya bayangkan. Memperlihatkan hasil dari jerih payah dalam meraih sesuatu, yang dalam kisah Minke adalah perjuangannya mendapatkan hati seorang perempuan separuh bule bernama Annelis Mellema.
Dalam benak saya, jangan-jangan begitu pula proses yang saya jalani. Barangkali, kesulitan dan tantangan hidup yang sebenarnya tak seberapa yang sedang saya rasakan saat ini, adalah bagian dari proses itu. Entah bagaimana bentuk hasilnya di masa mendatang, saya merasa tidak pantas untuk membayangkannya.
Senyum tipis terkembang di bibir saya saat menulis paragraf ini. Saya telah melanggar kalimat yang saya tulis sebelumnya, untuk tidak membayangkannya. Hehe.
-
Bumi Manusia adalah buku ketujuh yang saya selesaikan di tahun 2024. Dari ketujuh buku itu, lima diantaranya adalah fiksi, dan dua yang lain adalah biografi. Dari kedua buku biografi, salah satunya adalah biografi seorang penulis fiksi. Dan jika dilanjutkan lagi hingga bulan Desember, separuh dari keseluruhan buku yang saya baca selama 2024 bergenre fiksi.
Meski bukan yang pertama kali saya baca, barangkali buku fiksi adalah yang pertama kali saya tuntaskan. Musabab, buku semacam RPUL (Rangkuman Pengetahuan Umum Lengkap), Buku Saku UUD ’45, Siksa Kubur atau Kumpulan Lagu-Lagu Wajib yang saya dapatkan dari bazar buku SD, bukanlah topik yang menarik untuk ditamatkan. Berbeda dengan Serial Anak Mamaknya Tere-Liye yang saya rasa harus dituntaskan bahkan hingga halaman terakhirnya. Yang biasanya berisi biografi penulis atau daftar buku lain dari penulis yang sama.
Saya tidak sedang berusaha mengglorifikasi buku fiksi. Menempatkannya seolah lebih mulia dibanding non-fiksi. Bukan pula pembelaan terhadap ungkapan beberapa orang yang menganggap fiksi adalah genre buku untuk pembaca pemula. Sederhana saja, saya yang merupakan seorang muslim hendak menyikapi segala sesuatu secara adil. Yaitu menempatkannya tepat pada tempatnya. Termasuk dalam tarik ulur genre buku ini.
Dibanding mendakwa fiksi sebagai genre buku yang tidak bermanfaat, saya memilih untuk menyebut bahwa fiksi memberikan ilmu, pelajaran dan hikmah dengan cara yang berbeda dibanding non-fiksi.
-
Dan Brown: a Biography menemani libur tahun baru saya. Karangan Lisa Rogak ini diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Bentang Pustaka. Saya pertama kali mengenal Dan Brown (tentu saja bukan secara langsung) melalui film yang diangkat dari novelnya, The Da Vinci Code. Lantas mengikuti dua film lain yang juga diangkat dari novelnya, Angels and Demonds dan Inferno.
Saya mengagumi tiga film itu bukan saja karena ceritanya yang menarik, melainkan karena keseluruhan komponen filmnya. Suguhan imaji ala Ron Howard sebagai sutradara terpilin apik dengan soundtrack magis milik Hans Zimmer.
Alasan yang saya rasa cukup untuk menonton berulang-ulang ketiga film itu.
Meski tidak secara langsung berhubungan, ketiga film itu (sekaligus juga novelnya) diperankan oleh tokoh utama yang sama bernama Robert Langdon. Tom Hanks, seorang aktor kenamaan asal Amerika ditunjuk memainkan perannya. Proyek Dan Brown bersama tokoh ciptaannya, Robert Langdon, masih berlanjut hingga novel terbarunya yang berjudul Origin. Novel ini pernah saya tamatkan dua kali, pertama di 2017 dan yang terakhir pada 2023. Bekal-bekal itulah yang mengantarkan saya untuk membaca buku biografi Dan Brown karangan Lisa Rogak ini.
Buku ini bagus. Tentu saja. Tapi saya tidak sedang membicarakan diksi atau susunan kalimatnya. Melainkan fisik bukunya.
Pasalnya, buku ini pernah secara sengaja saya ajak mendaki Gunung Prau. Meski sengaja saya bawa, saya sempat lupa kalau buku adalah benda yang tidak tahan air. Sehingga saya meninggalkannya di dalam carrier tanpa proteksi tambahan. Yang biasanya berupa kantong kresek. Sehingga, saat bongkar muat carrier, ketika hendak mendirikan tenda, saya mendapati buku ini sudah basah di beberapa bagiannya. Ajaibnya, meski perjalanan sejak di atas motor hingga tracking banyak ditemani rintik hujan, buku ini masih bisa diselamatkan. Dalam artian, masih bisa dikeringkan dan tidak basah kuyup hingga mengaburkan cetakan hurufnya.
-
Di hari-hari berikutnya, naskah fiksi masih menemani aktifitas saya.
Selama medio Januari — Februari, saya sedang menyelesaikan proyek lapangan bersama beberapa kawan. Sebuah penelitian geofisika dengan metode geolistrik. Kembali masuk ke rimba hutan, sebagaimana pernah saya lakukan ketika skripsian. Proyek itu memerlukan waktu dan tenaga maksimal, sehingga saya dan seorang teman memilih untuk menginap di sekitar lokasi proyek. Dengan dalih efisiensi waktu dan tenaga.
Saat hendak berangkat, saya sempatkan mampir ke Perpustakaan Kota Jogja (PEVITA) yang terletak di dekat Plengkung Gading untuk meminjam beberapa buku. Sebagai teman di kala kantuk dan bosan menyarang di tengah hutan.
Pilihan saya jatuh kepada Daun yang Jatuh Tidak Pernah Membenci Anginnya Tere-Liye. Alasannya adalah, saya terkenang kisah terakhir Dam saat pemakaman ayahnya dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong yang saya selesaikan dalam aktifitas yang sama. Dalam sebuah proyek penelitian di tengah hutan dan sawah, beberapa bulan sebelumnya. Maka saya berpikir, novel roman-santai milik Tere-Liye juga tepat untuk menemani proyek yang satu ini.
Sebagai penyeimbang, saya juga memilih cerpen sastra yang lebih berat untuk dipinjam. Godlob karangan Danarto yang akhirnya menarik perhatian saya. Setelah tidak menemukan Corat Coret di Toiletnya Eka Kurniawan di rak buku perpustakaan.
Ketika berpeluh di lapangan ditemani Tania yang jatuh hati kepada malaikat penolongnya, Danar. Sedang di penginapan saya menikmati cerpen Danarto yang seringkali butuh konstrasi ekstra untuk menangkap maknanya. Begitu bayang saya saat berdiri di depan resepsionis perpustakaan memproses buku yang saya pinjam.
Namun, apa yang saya bayangkan itu selamanya tetap menjadi bayangan. Kedua judul itu sama-sama saya selesaikan di penginapan. Alasannya sederhana, cuaca. Dan Januari adalah bulan hujan. Sebagai seorang yang belajar geofisika, seharusnya saya selalu mempertimbangkan aspek ini. Namun terlewat begitu saja saat saya sedang berada di perpustakaan.
Saat-saat di lapangan lebih banyak disibukkan dengan lari terbirit-birit menyelamatkan aki dan perlengkapan lain ketika hujan mengguyur, padahal penelitian sedang dilakukan. Karena suasana lembap, mengeluarkan buku adalah pekerjaan yang merepotkan. Jadi, saya memilih berbincang dengan kawan-kawan, atau sekedar saling diam sambil mendengarkan Spotify gratis dengan iklan yang tak putus-putus dari ponsel. Praktis, buku yang saya bawa, yang kali ini saya pakaikan proteksi tambahan berupa kantong kresek, tidak banyak tersentuh.
Kisah Tania, Dede dan Danar tidak jadi menemani kesibukan saya di tengah hutan.
-
Meski aktifitas proyek penelitian cukup padat, saya tetap berusaha menyempatkan diri pulang ke kampung dua pekan sekali, atau ketika ada kegiatan di rumah. Dan saat di rumah itulah saya menamatkan novel fiksi berikutnya, Bedebah di Ujung Tanduk. Yang memang tersedia di rak buku di rumah, dibeli kakak beberapa saat sebelumnya.
Kisah Bujang, Thomas dan Kelompok Teratai Emas ini saya selesaikan sehari semalam. Sebagaimana biasanya saya menyelesaikan novel laga Tere-Liye. Apa yang saya ingat dari novel ini? Tidak ada. Kecuali setelah dipantik, mungkin saya akan teringat beberapa bagiannya. Apakah berarti novel ini buruk? Tidak juga. Novel ini bagus, amat bagus bahkan. Dan saya telah merencanakan untuk membacanya ulang di masa mendatang. Sebelum membaca sekuel berikutnya, Tanah Para Bandit.
Karena bagi saya, ada banyak hal bagus, keren dan menarik yang tak perlu diingat lekat-lekat. Cukup dinikmati ketika sedang dijalani. Seperti halnya ketika saya membaca novel-novel laga Tere-Liye.
-
Lagi-lagi, Tere-Liye mengisi dahaga saya akan kehausan bacaan. Dikatakan atau Tidak Dikatakan Itu Tetap Cinta adalah satu-satunya kumpulan sajak yang saya selesaikan di tahun 2024.
Setelah saya cari tahu, puisi ternyata tidak termasuk dalam genre fiksi maupun non-fiksi. Tapi, karena Tere-Liye mensarikan sajak-sajak di buku ini dari berbagai novelnya yang bergenre fiksi, barangkali sajak di buku ini dapat dikategorikan sebagai fiksi juga.
-
Fiksi berikutnya adalah sebuah novel berlatar historis tentang sebuah kerajaan yang menjadi cikal bakal Kerajaan Mataram Islam, yaitu Pajang. Ini adalah karya Wawan Susetya pertama yang saya baca. Berjudul lengkap Pajang: Memudarnya Senyuman Dewan Wali Sanga. Sebelum berbicara sedikit menganai kisah Jaka Tingkir dalam buku ini, saya tertarik untuk membicarakan bagaimana buku ini sampai di tangan saya.
Setahun lalu, di awal tahun, saya dan kawan-kawan menyelenggarakan kontes menulis bertajuk #2023BookRecap. Kegiatan serupa juga diselenggarakan di awal tahun 2025 ini. Umumnya sebuah perlombaan, kegiatan ini memerlukan hadiah. Maka saya menghubungi seorang teman pecandu buku yang tinggal di pedalaman Kulon Progo, sekitar Waduk Sermo, untuk menjadi donatur. Ternyata, dia bersedia mendonasikan beberapa bukunya untuk hadiah kegiatan ini. Kami janjian untuk cod (padahal saya tidak membayarnya sepeserpun) di Stasiun Wates.
Di situlah saya mendapatkan novel yang berkisah tentang Jaka Tingkir ini. Bersama tumpukan buku lain yang jumlahnya tidak kurang dari satu kardus.
Novel ini mengisahkan perjalanan seorang bernama Raden Mas Karebet menjadi sultan. Ialah yang kemudian dikenal sebagai Sultan Hadiwijaya atau lebih tenar disebut Jaka Tingkir. Sang pendiri Kerjaan Pajang.
Perseturuan, intrik dan pengkihanatan ala kehidupan kerajaan menghiasi kisah dalam novel ini. Saya tidak ingat keseluruhan ceritanya. Tapi saya mengingat momen saat menyelesaikan buku ini. Paragraf terakhir buku ini, yang menceritakan tentang pembukaan Alas Mentaok oleh Ki Ageng Pemanahan, saya baca sambil berdiri di dalam KRL Jogja-Solo di suatu siang.
-
Memasuki Maret, saya mulai membaca novel fiksi berikutnya. Inilah momen pertama saya berkenalan dengan karya George Orwell. Bukan melalui Animal Farmnya yang masyhur atau 1984 yang kata orang menarik. Tapi lewat novel yang dalam bahasa Indonesia berjudul Terbenam dan Tersingkir di Paris dan London.
Tidak banyak yang saya ingat dari novel ini. Namun setidaknya ada dua bagian yang menarik. Pertama, penjelasan Orwell mengenai problem orang berpendidikan, yang ia ceritakan dengan pov tokoh utama sebagai gelandangan. Bisa ditemukan di halaman 175–176. Dan kedua, penggalan kalimat di halaman 250 yang begini bunyinya:
“Mengemis adalah sebuah pekerjaan yang wajar; tidak ada gunanya, memang — tetapi, banyak juga pekerjaan terhormat yang tidak ada gunanya”
Kalimat yang membuat saya senyum-senyum sendiri, sambil membatin “Benar juga ya”. Kalimat ini sedikit banyak merubah pandangan saya mengenai pengemis.
Selain isi, lagi-lagi saya mengingat momen saat membaca novel ini. Karena kebiasaan, berpergian sambil mengantongi satu-dua judul buku.
Saat itu bulan Ramadhan. Selepas tarawih, saya diajak seorang teman (terkadang saya sebut guru spiritual) untuk lemburan. Lemburan yang sebenarnya tidak terlalu penting bagi saya. Ternyata saya malah diajak nonton Mencuri Raden Saleh dari tab miliknya. Lewat Netflix premium yang mungkin baru saja dibelinya dari Shopee. Di sebuah slow-bar di bawah fly-over Janti.
Lantas kami lanjut makan sahur di pinggir jalan Solo. Ketika makan sahur itulah saya membaca bagian “problem orang berpendidikan” sebagaimana saya sebut di paragraf sebelumnya. Yang mempengaruhi cara pandang saya terhadap dunia akademis dan personalia akademisi itu sendiri.
-
Dalam keluarga besar, baik dari bapak maupun ibu, saya tidak banyak memiliki saudara sebaya. Bisa dihitung jari dan seingat saya tidak lebih dari sepuluh orang. Dan itupun tidak ada yang benar-benar seusia saya. Selisih satu atau dua tahun jarak kelahirannya dengan saya. Meski demikian, momen kumpul ketika lebaran tetap menjadi saat-saat yang menarik untuk ditunggu. Meski memiliki kesibukan masing-masing, masih ada beberapa topik yang mampu memberi ruang untuk kami berbincang.
Salah satunya adalah ketika seorang saudari menawarkan kepada saya sebuah buku untuk dibaca. Meski buku itu sebenarnya juga pinjaman dari temannya. Memberi syarat kepada saya untuk menyelesaikannya dalam semalam atau paling lama dua malam. Karena dia juga ingin membacanya. Melihat judulnya, saya langsung mengiyakan. Bagaimana tidak, ini buku baru, saya belum pernah membacanya dan di sosial media sedang banyak dibincangkan.
Teruslah Bodoh Jangan Pintar. Karya Tere-Liye yang pertama kali diterbitkan pada awal Februari 2024 inilah yang sedang saya bicarakan. Sejujurnya, ketika sedang menulis paragraf ini, saya harus menggali kembali ingatan saya tentang buku ini. Melalui beberapa resensi, termasuk yang ditulis Ernest Prakasa di akun x-nya juga ebook yang saya miliki di google play books.
Seingat saya, novel ini membicarakan tentang sebuah konflik agraria. Antara masyarakat pemilik tanah dengan perusahaan tambang yang datang dengan perlindungan aparat. Kepiawaian Tere-Liye membuat novel fiksi ini terasa amat dekat dengan realita yang terjadi. Saya tidak tahu, apakah keberanian Tere-Liye dalam menulis novel ini akan membahayakan dirinya atau tidak. Tapi dalam negari yang konon menjunjung tinggi demokrasi ini, seharusnya kebebasan berpendapat senantiasa dijunjung tinggi. Termasuk dalam bentuk kisah fiksi seperti novel ini.
-
Fiksi terakhir yang hendak saya bicarakan dalam tulisan ini adalah sebuah kumpulan cerpen karya seorang sastrawan terkenal, Ali Akbar Navis atau yang sering dikenal sebagai A.A. Navis. Judul buku kumpulan cerpen ini diambil dari salah satu judul cerpen di dalamnya, yaitu Robohnya Surau Kami.
Karena bahasa yang digunakan adalah ejaan lama, terkadang saya merasa kesusahan saat membaca kalimatnya. Tapi, karena konon buku ini bagus, dan saya terus menguatkan hati saya untuk mengatakannya begitu, saya bertekad untuk tetap menuntaskannya.
Hingga akhirnya, saya mampu menyelesaikan ujung halaman pada cerpen terakhir di buku ini pada bulan November 2024. Padahal saya sudah mulai membacanya sejak Mei 2024. Tapi tak apa, ternyata benar kata orang di internet. A.A. Navis terlampau berhasil menuliskan cerpen ini. Hikmah menarik saya temukan sejak cerpen pertama dalam buku ini. Mengenai ibadah dan seorang ahli ibadah. Saya menemukan kalimat itu di halaman ke 19 dalam buku terbitan N.V. Nusantara Bukittinggi Indonesia tahun 1961.
Sekali lagi, tulisan ini tidak hendak mengglorifikasi buku fiksi. Seolah lebih superior daripada non-fiksi. Saya hanya ingin menempatkan kedua genre buku ini secara adil. Toh, tulisan yang saya tulis ini adalah non-fiksi. Menceritakan kisah hidup saya setahun terakhir saat berinteraksi dengan karya-karya fiksi.
Karanganyar, 23 Januari 2025