Bias Media Sosial, Sebuah Fenomena

Rezal Prihatin
3 min readSep 14, 2022

--

Bukankah ruang dan waktu tidak terpisahkan?

Tulisan amburadul ini saya tulis pada kamis dini hari 15 September 2021. Setelah berbincang dengan seorang teman melalui sambungan telepon -layaknya manusia generasi sekarang pada umumnya- saya melakukan pengamatan beranda instagram. Gulir atas bawah layar ponsel. Dan tentu saja, beranda instagram akan memberikan informasi sejalan dengan akun siapa saja yang saya ikuti dan informasi apa saja yang sering saya baca.

Dini hari ini saya menemukan berbagai postingan akun @tempodotco yang mengatakan bahwa mereka akan merilis film dokumenter mengenai tragedi KM 50 nanti sore pukul 15.00 WIB. Tertarik berita itu, saya kemudian menyempatkan diri mengunjungi profil akun tersebut. Untuk menemukan informasi yang lebih banyak. Dan saya menemukan berbagai berita dan trailer dalam tema yang sama, rilis film dokumenter tragedi KM 50.

Melanjutkan perjalanan beranda instagram, saya menemukan positngan yang memprihatinkan dari akun @underc0ver.id. Nampak dalam sebuah vidio, seorang dengan baju ASN menendang motor yang nampaknya baru saja menabrak mobilnya. Alhasil motor yang tadi berusaha didirikan –sebelumnya motor itu terjatuh- oleh seorang perempuan itu melaju kedepan. Mungkin karana kaget ditendang.

Kemudian saya ingat peristiwa yang juga viral di media sosial beberapa hari sebelumnya. Mengenai salah seorang anggota DPRD –kalau tidak salah- yang tidak hafal pancasila. Beberapa hari kemudian, anggota DPRD itu mengundurkan diri dari jabatannya.

Lantas teringat lagi dengan kasus Sambo yang belum kunjung usai. Peristiwa yang detail dan kronologi kejadiannya berubah-ubah menurut para saksi. Tembak menembaklah, tembak menembak yang terencana lah dan banyak lagi skenarionya. Bisa dicermati di layar gawai masing-masing. Tidak sulit menuliskan “Kronologi Kasus Sambo” di mesin pencari google.

Dari situ lantas saya berfikir. Apakah semua harus viral, baru kemudian dilakukan klarifikasi dan perbaikan?

Di satu sisi memang keberadaan media sosial membuat kita tahu banyak hal. Termasuk hal-hal yang jika tanpa media sosial kita tidak akan menemuinya, seperti penemuan emas di antartika, kepunahan hewan kutub utara, dan banyak lainnya. Yang sebenarnya skala ke”penting”annya kecil sekali.

Lantas timbul pertanyaan lagi. Seluas apakah media sosial kita? Apakah kapasitas media sosial kita mampu menampung seluruh informasi? Apakah media sosial kita mampu mengakomodir seluruh permasalahan di dunia atau negeri ini?

Dengan adat dan kultur sekarang, dimana semua harus viral dahulu sebelum ditindak dan diklarifikasi apakah media sosial kita mampug menampung seluruh kejadian itu? Maksut saya bukan kapasitas memori penyimpanan media sosialnya. Namun mampu menampung dalam arti yang lebih luas. Apakah 100 berita bisa viral sekaligus, jika ada 100 peristiwa penindasan/kejahatan/ketidakbaikan/ yang terjadi dalam waktu yang bersamaan?

Bias media sosial. Sisi positif dan negatif.

Saya yakin banyak orang memiliki keresahan yang sama. Ada yang masih dipendam, sudah disampaikan atau bahkan sudah berusaha mencari solusinya. Saya bukan orang yang merasa paling awal sadar dengan fenomena ini. Saya hanya menuliskannya. Barangkali saya, kamu, mereka atau kita semua bisa terinspirasi menemukan jalan keluar dari keresahan ini.

Saya hanya menuliskannya, agar suatu saat saya bisa berbicara dengan masa lalu saya, Rezal Prihatin di hari Kamis, 15 September 2022 pukul 02.33.

Bukankah ruang dan waktu tidak terpisahkan?

--

--

No responses yet