Atomisme Asy’ariah dalam Pandangan Albaqillani

Rezal Prihatin
5 min readMay 27, 2024

--

Photo by Trophim Lapteff on Unsplash

Pendahuluan

Pemahaman akan hakikat Tuhan tidak hanya berhenti pada dunia ide, melainkan juga akan berpengaruh pada apa yang dilakukan dan dicari manusia dalam kehidupan nyatanya. Ilmu kalam adalah cabang keilmuan islam yang membahas berkaitan tentang masalah akidah, seperti masalah ketuhanan, kenabian dan masalah pokok keimanan lainnya. Dalam pembahasannya, ilmu kalam menggunakan argumen rasional dan bukti-bukti yang kuat. Diantara aliran dalam ilmu kalam adalah Asy’ariah, Mu’tazilah, Maturidiah dan lain sebagainya.

Asy’ariah adalah satu corak ilmu kalam yang disebut sebagai jalan tengah antara Mu’tazilah yang rasionalis dan kaum ahli hadis yang tekstualis.[1] Abu Bakr al-Baqillani yang menjadi penganut Asy’ariah ternyata juga mengembangkan untuk sebuah teori atom. Menghasilkan satu konsep pemikiran yang runtut dan dapat digunakan untuk memahami mukjizat para nabi yang harus kita imani. Salah satu yang ditekankan pada konsep atom ini adalah keberadaan atom -sebagai satu bagian terkecil yang tidak dapat dipisah lagi- yang bersifat tidak mutlak dan probabilistik.

Asy’ariah

Aliran Asy’ariah diperkenalkan oleh Abu al-Hasan Ali Ibn Ismail al-Asy’ari yang sebelumnya adalah penganut Mu’tazilah.[2] Al-Asy’ari (260–324 H) lahir di Bashrah dan wafat di Baghdad. Ada berbagai alasan mengapa Asy’ari memilih keluar dari Mu’tazilah ketika ia berusia 40 tahun. Salah satu sumber mengatakan bahwa ia bermimpi bertemu Rasulullah SAW dan memerintahkannya untuk meninggalkan paham Mu’tazilah. Selain itu juga ada yang mengatakan bahwa alasan keluarnya Asy’ari dari Mu’tazilah adalah karena perdebatannya dengan gurunya al-Jubba’i. Dalam perdebatan itu, al-Jubba’i tidak mampu menjawab pertanyaan dari Asy’ari.[3]

Aliran ini membawa metode keseimbangan antara penggunaan dalil naqli (teks wahyu, Al-Qur’an dan Hadist) dan ‘aqli (rasionalitas akal).[4] Pandagan ini menjadikan akal sebagai pelayan dan penguat terhadap apa yang telah tertulis pada dalil naqli. Bukan sebagai hakim yang membenarkan atau menyalahkan dalil naqli. Sehingga pada dasarnya, aliran ini menjadikan dalil agama sebagai fondasi dalam setiap kejadian.

Atomisme Asy’ariah menurut Al-Baqillani

Corak kalam Asy’ariah ini kemudian diikuti oleh ulama di zaman berikutnya, salah satunya adalah al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani. Al-Baqillani ini kemudian mengenalkan konsep atom berdasarkan kalam Asy’ariah. Ia mendefinisikan alam sebagai segala sesuatu selain Tuhan yang tersusun dari berbagai atom aksiden.[5] Segala sesuatu yang bukan Tuhan itu terdiri dari al-jawhar dan al-‘ard dimana keduanya bersifat baru. Segala sesuatu yang bersifat baru memiliki konsekuensi harus ada yang mengadakannya, dan itu adalah Tuhan. Tuhan sendiri bersifat Qadim. Metode inilah yang berlaku, Tuhan menciptakan segala sesuatu melalui jawhar untuk menunjukkan kekuasaannya.

Berdasarkan Al-Qur’an, Albaqillani membagi sifat Tuhan menjadi dua bagian, yaitu sifat-sifat Dzat dan Sifat-sifat af’al. Sifat Dzat adalah sifat yang tidak mungkin terpisahkan dari Tuhan, diantaranya adalah Al-‘Ilm. Sedangkan Sifat-sifat af’al atau perbuatan adalah sifat yang berhubungan dengan perbuatan-Nya. Karena sebelum perbuatan-Nya itu, Allah telah ada.[6] Namun, sifat-sifat Tuhan tentu berbeda dari sifat-sifat makhluk. Tidak perlu diperbincangkan juga, karena ini mutlak adaanya.

Jawhar adalah al-juz’u alladzi la yatajazza’ (bagian yang tidak dapat dibagi lagi). Termasuk meskipun telah ditemukan partikel yang lebih kecil dari atom seperti elektron, proton dan kuark, atau bahkan jika suatu saat masih ditemukan partikel yang lebih kecil lagi, konsep jawhar ini tidaklah salah. Karena yang dimaksud oleh Albaqillani jawhar bukanlah dzarrah atau yang dulu dikenal sebagai atomnya Democritus, jawhar adalah yang bagian paling kecil dari sesuatu ketika terus menerus dibagi dan berhenti pada satu yang tidak bisa dibagi lagi.[7]

Karakteristik Atomisme Asy’ariah menurut Albaqillani

Albaqillani juga memberikan 3 karakteristik konsep Atomisme Asy’ariah yang ia kenalkan, yaitu: atom -yang dimaksud disini bukanlah atom Democritus- tidak memiliki ukuran atau besar dan bersifat homogen, jumlah atom berhingga, dan yang terakhir atom bersifat fana, musnah dan lenyap dalam sekejap dan tidak dapat bertahan dalam dua saat.[8]

Pertama atom bersifat dimensionless entities, tidak memiliki panjang, tinggi dan lebar, tetapi ia padu membentuk benda yang memiliki dimensi. Kedua, jumlah atom berhingga (finite). Albaqillani menolak ketakberhinggaan, karena ia memiliki dasar argumentasi tertulis yang jelas, yaitu pada surah Al-Jinn ayat 28 yang terjemahnya adalah:

Agar dia mengetahui bahwa rasul-rasul itu sungguh menyampaikan risalah Tuhannya, sedang (ilmu-Nya) meliputi apa yang ada pada mereka, dan Dia menghitung segala sesuatu satu persatu. (QS. Al-Jinn: 28)

Ketiga, atom bersifat fana. Ia akan tercipta dan musnah dalam sekejap dan tidak dapat bertahan dalam dua saat. Albaqillani seolah ingin menegaskan kekuasaan Tuhan atas entitas terkecil dari alam semesta. Tidak ada satu hal pun, baik besar maupun kecil, baik yang tampak maupun tersembunyi yang luput dari pengetahuan dan kekuasaan-Nya.

Secara umum, alam semesta menurut Atomisme Asy’ariah yang dikembangkan oleh Albaqillani tersusun atas atom dan aksiden yang tercipta dan musnah dalam sekejap secara terus menerus. Gabungan atom dan aksiden inilah yang dalam dunia makroskopis tampak sebagai alam. Saat atom-atom itu lenyap, Tuhan akan menggantinya dengan atom-atom dan aksiden-aksiden yang sama jika Tuhan ingin benda di alam itu tetap ada. Namun jika tidak, Tuhan tidak akan menciptakan atom-atom dan aksiden-aksiden yang dimaksud.

Karena dalam konsep Atomisme Asy’ariah dari Albaqillani ini akal digunakan untuk melayani wahyu, maka kepercayaan terhadap mukjizat para nabi adalah sebuah kepastian. Hukum alam seperti yang diyakini sekarang harus diingkari. Selain itu, konsep ini juga menyangkal kausalitas. Bagi Albaqillani, Allah-lah satu-satunya penyebab adanya alam semesta ini. Dengan konsep atom dan aksiden yang fana ini, transformasi tongkat menjadi ular sebagai mukjizat Nabi Musa AS. bisa dijelaskan dengan runtutan kejadian yang baik. Ketika tongkat dilempar, atom dan aksiden yang membentuk tongkat musnah dan dalam sekejap digantikan oleh atom dan aksiden yang membentuk ular.

Kesimpulan

Konsep atomisme Asy’ariah menurut Albaqillani ini sepenuhnya didasarkan pada wahyu. Baru kemudian akal akan melayani wahyu itu, sehingga terjadi keharmonisan. Sebagai seorang muslim, awalnya Albaqillani memandang bahwa wahyu yang tertulis dalam Al-Qur’an adalah pasti dan selalu benar. Sebagai cendekia yang terdidik, ia coba menawarkan gagasan alternatif dalam menjelaskan atom yang menurutnya lebih sesuai dibanding atom dalam konsep Democritus. Dibutuhkan banyak muslim dalam sebuah komunitas ilmiah, sehingga pengembangan ilmu pengetahuan yang berbasis wahyu dapat mewarnai dunia abad ke 21 ini.

Referensi

[1] Hasan Syadzili, “Teori Atom menurut Asy’ariyyah”, Jurnal Kalimah, Vol.13 №2 (September, 2015), 254.

[2] Suryan A. Jamrah, Studi Ilmu Kalam, (Jakarta: Kencana, 2015), 146.

[3] Ibid., 147.

[4] Ibid., 152.

[5] Hasan Syadzili, “Teori Atom menurut Asy’ariah….., 255

[6] Ibid., 262

[7] Ibid., 267

[8] Agus Purwanto, Nalar Ayat-Ayat Semesta, (Jakarta: Mizan, 2017), 218

--

--

No responses yet