Antara fastabiqul khairat & ta’awanu alal birr wa taqwa
Dalam banyak kasus sering disebut bahwa dalam berdakwah kita gunakan salah satu diksi dalam al quran fastabiqul khairat yang bisa diartikan yaitu berlomba-lomba dalam kebenaran. Misalkan antar lembaga dan organisasi dakwah kita harus senantiasa berlomba-lomba dalam mennyebarkan agama yang mulia ini. Namun, menurut catatan pribadi saya yang terinspirasi dari tulisan Ustadz Arif Wibowo, seorang dai asal Boyolali, Jawa Tengah dalam salah satu tulisannya di facebook, ada diksi lain yang sebenarnya lebih bagus kita gunakan untuk melakukan kolaborasi antar organisasi atau lembaga dakwah. Adalah ta’awanu alal birri wa taqwa. Yang memiliki arti tolong menolong dalam (mengerjakan) kebaikan dan ketakwaan. Karena makna lomba yang memiliki konotasi bersaing yang berarti akan saling mengalahkan. Yang sepertinya akan kurang cocok jika kita gunakan untuk melakukan kolaborasi dengan kelompok/organisasi/lembaga dakwah lain. Karena bersaing berarti ada yang menang dan ada yang kalah. Maka lebih cocok jika kita gunakan ta’awwun yang berarti tolong menolong. Yang maknanya lebih dekat kepada kolaborasi tanpa harus mengalahkan satu sama lain.
Lantas kapan diksi fastabiqul khairat cocok kita gunakan. Adalah ketika ketika misi kebaikan kita bertemu dengan misi kebaikan yang digalakkan oleh misionaris kristen. Karena misi kebaikan yang mereka bawa tidaklah bisa mengarahkan kepada ketakwaan seperti yang tersebut dalam ayat tolong menolong. Sehingga memang dengan misionaris kristen kita layak berlomba-lomba. Mengajak kepada masyarakat untuk berislam dan terus berlatih menjadi muslim yang baik. Disini saya kutipkan satu tulisan bagus yang saya dapatkan dari unggahan facebook ustadz Arif Wibowo
Namanya Mbah Sapar. Usianya 80 tahun. Rambutnya sudah memutih. Beberapa giginya terlihat ompong. Mbah Sapar dan istrinya, yaitu Mbah Karti adalah warga muslim asli di Dusun Diwak. Hanya mereka berdua yang asli muslim. Hanya keluarga mereka atau 1 KK muslim saja yang ada di Dusun Diwak.
Sedangkan muslim lainnya, yaitu mas Puan, keluarganya sudah murtad semua. Hanya dia seorang dalam keluarganya yang muslim. Jadi Kartu Keluarganya di kolom agama terdapat dua agama.
Saat itu Tim Mualaf Center Kab Semarang bersilaturahim ke rumah Mbah Sapar. Kami mencoba menyapa warga muslim disana yang cuma ada 3 orang. Berbicara dari hati ke hati tentang perasaan mereka.
Kami mendengarkan sepenuh hati kisah dari Mbah Sapar. Meskipun minoritas, tapi Mbah Sapar rajin mengaji, bahkan hingga Magelang. Dengan menggunakan motor Astrea Grand keluaran tahun 80-an, Mbah Sapar beserta istrinya mendatangi majelis taklim. Mereka berdua menembus gelapnya malam dan dinginnya udara Gunung Merbabu demi bertemu dengan saudara seimannya. Demi menuntut ilmu, agar keimanan mereka semakin kokoh.
Sungguh, kami melihat ketulusan dan keteguhan prinsip dalam diri Mbah Sapar. Beberapa kali dia ditawari berpindah agama. Diiming-imingi harta benda jika mau melepaskan keyakinannya. Pernah ditawari sapi, motor, uang asal mau berpindah agama. Tapi tawaran itu ditolak semua. Mbah Sapar kokoh bagai batu karang di lautan. Tak mau menukar keyakinannya demi secuil kenikmatan duniawi.
Mbah Sapar dan Mbah Karti bukanlah orang kaya. Mereka hidup sederhana hingga masa tuanya. Bahkan saat ini memilhara 2 ekor anak sapi milik non Muslim. Kelak jika sapi itu beranak, maka anakan sapi akan menjadi miliknya. Setiap hari Mbah Sapar mencari rumput untuk kedua anak sapi tersebut.
Mbah Sapar adalah potret teladan muslim di lereng Merbabu. Tetap gigih memeluk Islam meskipun kondisi papa dan di lingkungan minoritas. Komposisi warga muslim di desanya hanya ada 1%. Sebuah jumlah yang sangat sedikit.
Semoga Mbah Sapar dan Mbah Karti selalu istiqomah hingga akhir hayat, aamiin
ditulis untuk Syuro PH LDK Sunan Kalijaga 21/22 Jumat, 21 Januari 2022